Menanamkan Jiwa Entrepreneurship dan Intrapreneurship di Era Digital Sejak Dini



Bijak dan Cerdas dalam Berteknologi

Ilmu menjadi orang tua itu memang enggak ada habisnya ya, Moms. Justru karena tidak diajarkan di sekolah, ruang keilmuannya malah seperti tidak ada batasan. Kalau diibaratkan berjalan, seakan-akan enggak ada ujungnya. Hehe … Kayaknya semua ilmu juga bakal begitu deh, Moms. Selama kita masih mau belajar maka akan terasa enggak ada akhirnya, bertambah terus. Selain itu, kita juga bisa belajar di mana pun dan pada siapa saja, bahkan kita bisa memetik pelajaran dari setiap peristiwa yang dialami bersama anak-anak.

Sebagai orang tua di era modern sekarang ini, kita tentu menyadari pentingnya pengenalan digital pada anak-anak. Namun, sebenarnya ada yang lebih penting yaitu mengenalkan dan membimbing sikap dan perilaku anak agar tumbuh menjadi pribadi yang santun, bijak, dan cerdas dalam menyikapi kemajuan di bidang teknologi dan komunikasi. Jadi, mengenal cara menggunakan perangkat berteknologi modern bagi anak saja belum cukup ya, Moms. Orang tua juga perlu menanamkan sikap-sikap positif pada anak dalam menghadapi perkembangan zaman serta menangkal pengaruh-pengaruh buruk yang ditimbulkan dari kemajuan teknologi tersebut. Melalui pengenalan kecerdasan digital ini, kita juga bisa sekaligus menumbuhkan keterampilan entrepreneurship pada anak-anak sejak dini.

Nah, jika selama ini kita mungkin hanya mengenal istilah entrepreneurship, dalam artikel ini, saya juga akan membahas tentang keahlian intrapreneurship. Apa sih itu? Lalu apa perbedaan dari dua hal tersebut? Yuk, baca artikel ini sampai selesai ya, Moms.


Pengertian Entrepreneurship dan Ciri-Cirinya

Ada beberapa teori dari para ahli yang mendefinisikan entrepreneurship. Dua di antaranya adalah sebagai berikut:

Entrepreneurship atau kewirausahaan adalah suatu kemampuan (ability) dalam berpikir kreatif dan berperilaku inovatif yang dijadikan dasar, sumber daya, tenaga penggerak tujuan, siasat, kiat, dan proses dalam menghadapi tantangan hidup. (Soeparman Spemahamidjaja, 1977)

Sedangkan menurut Eddy Soeryanto Soegoto, "kewirausahaan adalah usaha kreatif yang dibangun berdasarkan inovasi untuk menghasilkan sesuatu yang baru, memiliki nilai tambah, memberi manfaat, menciptakan lapangan kerja, dan hasilnya berguna bagi orang lain." 

Di dunia bisnis, seseorang dengan jiwa entrepreneurship akan memiliki kemampuan menciptakan bisnis baru, pandai dan berbakat mengenali produk baru, serta bisa menjabarkan proses produksi hingga ke pemasaran produk tersebut.

Seorang wirausahawan/entrepreneur perlu memiliki keahlian-keahlian berikut:
  1. Business management skill/keahlian pengelolaan bisnis
  2. Teamwork and leadership skill/jiwa kepemimpinan dan kerja sama
  3. Communication and listening/kemampuan berkomunikasi dan mampu menjadi pendengar  yang baik.
  4. Problem solving skill/keahlian menyelesaikan persoalan.

Perbedaan Entrepreneur dan Intrapreneur

Faisal Azwar Al-Edrus, seorang importir dan pengusaha muda, menyampaikan perbedaan konsep antara entrepreneur dan intrapreneur, sebagai berikut:

No

Entrepreneur

Intrapreneur

1

Entrepreneur berarti seseorang yang membangun bisnisnya sendiri dengan sebuah ide dan konsep baru.

Intrapreneur adalah seorang karyawan dari sebuah organisasi yang bertanggung jawab untuk melakukan inovasi dalam produk, layanan, proses dan lain-lain.

2

Menggunakan sumber daya sendiri.

Menggunakan sumber daya yang disediakan oleh perusahaan

3

Sumber daya ini dikembangkan sendiri.

Semua pengembangan usaha dan sumber daya didanai oleh perusahaan.

4

Usaha atau perusahaan baru didirikan.

Perusahaan atau usaha sudah ada.

5

Mandiri

Terikat

6

Ditanggung oleh wirausahawan sendiri.

Semua kebijakan diambil oleh perusahaan.

7

Menciptakan posisi terdepan di pasar.

Mengubah dan memperbaharui sistem dan budaya organisasi yang ada.


Dari perbedaan-perbedaan tersebut, kita bisa menyimpulkan bahwa entrepreneur harus memulai usahanya dengan modal sendiri yang cukup besar, sementara intrapreneur melakukan pekerjaannya dengan bergabung di perusahaan orang lain tanpa membutuhkan modal sebesar entrepreneur. Meskipun ada perbedaan pada wilayah usaha dan kepemilikan, baik entrepreneur maupun intrapreneur tetap harus menerapkan kreativitas dan inovasi dalam profesinya bagi kemajuan masing-masing perusahaan.

Nah, untuk memiliki skill sebagai entrepreneur dan intrapreneur ini, anak-anak perlu diberikan wawasan serta bimbingan agar selaras dengan tujuan yang diharapkan. Pola pikir yang positif perlu dikembangkan sejak dini melalui pembiasaan baik di lingkungan keluarga maupun di sekolah. Apa saja pola pikir-pola pikir positif yang tentu diharapkan akan mengarah pada kesuksesan tersebut? Yuk, lanjut ke pembahasan berikutnya ya, Moms.



11 Cara Berpikir Sukses

Menurut Faisal, yang juga hadir sebagai salah satu pembicara pada webinar bersama Yayasan Tadika Puri beberapa waktu lalu, jika jarak diukur dengan satuan kilometer, berat diukur dengan kilogram, lalu bagaimana mengukur kesuksesan seseorang?

Berikut ini 11 cara berpikir orang sukses sebagai gambaran dari tujuan pembelajaran jiwa entrepreneurship dan intrapreneurship pada anak-anak dari berbagai sumber.

1. Big picture thinking/berpikir dengan gambaran yang besar
Big picture thinking merupakan kemampuan untuk memunculkan ide-ide, solusi, dan kesempatan. Para pemikir besar mampu melihat kemungkinan-kemungkinan dan memanfaatkan peluang. Mereka bersedia mengambil risiko karena mereka melihat peluang untuk mendapatkan kesuksesan.

2. Focus thinking/berpikir fokus
Focus thinking merupakan konsentrasi intensif untuk mendapatkan kejelasan tentang suatu persoalan sehingga mencapai inti masalah. (John C. Maxwell)

Ketika kita memfokuskan pikiran maka:
  • Kita cenderung untuk bekerja dengan benar.
  • Kita membuat lebih sedikit tekanan pada otak kita karena hanya mempertahankan satu jalur berpikir, bukan beberapa jalur sekaligus.

3. Creative thinking/berpikir kreatif
Creative thinking merupakan kemampuan untuk mempertimbangkan sesuatu dengan cara baru. Ini bisa menjadi sebuah pendekatan baru pada sebuah persoalan. Creative thinking juga bisa berarti merancang cara-cara baru untuk melaksanakan tugas, memecahkan masalah, dan menghadapi tantangan.

4. Realistic thinking/berpikir realistis
Realistic thinking adalah melihat semua aspek situasi (positif, negatif, dan netral) sebelum membuat kesimpulan. Dengan kata lain, berpikir realistis berarti melihat diri sendiri, orang lain, dan dunia dengan cara yang adil dan seimbang.

5. Strategic thinking/berpikir strategis
Berpikir strategis didefinisikan sebagai sebuah proses mental atau pemikiran yang diterapkan oleh seseorang dalam konteks untuk mencapai tujuan atau serangkaian tujuan dalam permainan atau usaha lainnya.

Ada 4 tips untuk mengembangkan kemampuan berpikir strategis, yaitu: bertanya, mendengarkan pendapat orang lain, belajar membuat prioritas, dan merenungkan pekerjaan yang berhasil dilakukan maupun tidak.

6. Possibility thinking/berpikir mengenai kemungkinan-kemungkinan
Possibility thinking adalah kemauan untuk melihat kemungkinan di mana-mana, bukan keterbatasan. Kita membutuhkan orang-orang yang mampu melihat kemungkinan-kemungkinan di antara banyak persoalan.

7. Reflective thinking/berpikir reflektif
Pernahkan Moms ketinggalan bus, lalu berpikir lain waktu akan berangkat dari rumah 5 menit lebih awal? Ini adalah contoh menjadi reflektif. Kita memikirkan sebuah pengalaman dan memutuskan untuk belajar dari hal tersebut dan melakukan sesuatu yang berbeda di lain waktu. Sebagai anak atau siswa, dan di tempat kerja, kita diminta untuk menjadi reflektif.

Untuk berpikir dan menulis secara reflektif, anak-anak harus mengalami 3 hal berikut:
  1. Mendapatkan pengalaman tentang suatu hal
  2. Berpikir tentang apa yang terjadi
  3. Belajar dari pengalaman
Jadi, berpikir reflektif adalah kemampuan untuk merefleksikan pengalaman dan pengetahuan yang didapatkan, lalu menggunakannya untuk melakukan penyempurnaan atau kemajuan.

Refleksi sendiri bisa diartikan sebagai:
  • Kesadaran diri: berpikir tentang diri, pengalaman dan cara pandang pada dunia.
  • Perbaikan atau peningkatan diri: belajar dari pengalaman dan memiliki keinginan untuk memperbaiki beberapa hal dalam hidup.
  • Pemberdayaan: Memegang kendali diri untuk membuat perubahan dan berperilaku dengan cara yang berbeda.
8. Popular thinking/pemikiran populer
Berpikir populer dianggap memperlambat kreativitas dan menghambat pertumbuhan produktivitas karena biasanya hanya mengikuti rutinitas yang dilakukan oleh sebagian besar orang. Sebaliknya, dalam unpopular thinking/berpikir tidak populer, orang-orang justru dianggap bisa bersikap sebagai inovator dan kreator. Namun, yang dimaksud di sini, popular thinking bermakna mengeksplorasi apa yang dicari dan dibutuhkan dunia, sehingga kreativitas dan inovasi tetap diperlukan untuk mengembangkan solusi bagi permasalahan dalam kehidupan manusia.

9. Shared thinking/pemikiran untuk berbagi
Definisi shared thinking adalah “ketika dua atau lebih individu bekerja bersama dengan cara intelektual untuk mengatasi persoalan, mengklarifikasi suatu konsep atau mengevaluasi suatu aktivitas. Kedua kelompok ini harus berkontribusi pada pemikiran dan harus mengembangkan, serta memperluas pemahaman.

10. Unselfish thinking/pemikiran yang tidak egois
Unselfish thinking merupakan pemahaman bahwa kita tidak bisa mengalami makna sejati tanpa menemukan suatu cara untuk memberikan nilai atas pemikiran kita kepada orang lain.

Bagaimana cara kerjanya?
Unselfish thinking adalah sebuah pola pikir untuk melakukan apapun yang kita bisa pada seseorang yang tidak mampu mengerjakan hal tersebut. Apa yang kita tawarkan kepada orang lain bisa menjadi sesuatu yang unik bagi diri kita sendiri.

11. Summary thinking/berpikir ringkas
Pola pikir ini merupakan kemampuan untuk merangkum kejadian atau pengalaman guna meningkatkan kualitas diri. Summary thinking juga bisa diterapkan saat tengah merencanakan kegiatan dengan mencatat garis besar dari rencana untuk disampaikan di forum atau dipakai sebagai ringkasan/rangkuman yang akan kita gunakan untuk menjalankan rencana selanjutnya. Hal ini juga dilakukan untuk menhindari pembahasan atau pemikiran yang terlalu melebar di luar pokok pikiran yang akan dikerjakan. Tujuannya adalah untuk memudahkan memetakan pikiran atau perencanaan agar lebih spesifik dan detail.


Bagaimana Menanamkan Jiwa Entrepreneurship dan Intrapreneurship Sejak Dini?

Keahlian entrepreneurship dan intrapreneurship melalui 11 cara berpikir positif tadi bisa ditumbuhkan sejak dini dengan melatih anak-anak mengenai hal-hal berikut:

1. Perencanaan dan prioritas

Moms bisa mulai melatih si kecil dengan kebiasaan mengatur waktu dengan bijak. Manajemen waktu ini bertujuan untuk belajar membuat perencanaan, mengatur prioritas, sampai berkegiatan dengan produktif dan fokus.

Moms bisa memulainya dengan mengajak anak-anak untuk membuat jadwal harian. Anak bisa merencanakan kegiatannya mulai dari bangun tidur, sekolah, bermain, sampai tidur malam. Sebelum tidur, anak bisa diajak untuk mengevaluasi kegiatan hariannya apakah sudah sesuai dengan perencanaan jadwal atau belum. Dengan menerapkan pola kegiatan yang terjadwal, Moms juga bisa mengajarkan kedisiplinan pada anak agar tidak menunda-nunda pekerjaan atau bermain hingga lupa waktu.

Lalu, bagaimana mengajarkan tentang prioritas?
Moms bisa memberikan pilihan pada anak tentang banyak hal, misalnya saat anak ingin membeli mainan kesukaannya, tetapi di saat yang sama dia pun harus membeli buku sekolah, sementara uang yang dimiliki belum mencukupi. Ajak si kecil untuk memilih mana barang yang lebih penting untuk dibeli terlebih dahulu.

Pembelajaran tentang prioritas ini juga bisa diterapkan untuk kegiatan harian anak-anak. Misalnya Moms bisa menawarkan pilihan pada anak apakah si kecil akan pergi ke toko buku atau ikut les pelajaran. Dalam hal ini akan terjadi negosiasi antara orang tua dan anak dengan menyampaikan ke anak keuntungan dan kerugian jika dia harus meninggalkan jadwal les, sehingga keinginannya untuk pergi ke toko buku bisa ditunda setelah les atau di hari berikutnya.

2. Bekerja sama dengan tim dan menjadi ketua kelompok

Keterampilan ini biasanya bisa diasah dan ditumbuhkan di sekolah anak. Meskipun demikian, Moms bisa mulai menanamkan nilai kerjasama ini dari rumah dengan mengajak anak-anak untuk membantu pekerjaan di rumah yang disesuaikan dengan tahapan usia anak, seperti menyapu, membuang sampah, menjaga adik, atau tugas-tugas lainnya.

Moms juga perlu menanamkan sikap percaya diri agar anak mudah bergaul di sekolah serta kemandirian sehingga ia tidak canggung untuk beradaptasi dengan teman-temannya di sekolah. Sikap percaya diri dan kemandirian ini akan menjadi bekal anak untuk mampu mengikuti kegiatan-kegiatan kesiswaan di sekolah.

Dengan memotivasi anak untuk mengikuti kegiatan di sekolah juga bisa menumbuhkan jiwa kepemimpinan serta sikap kerjasama di dalam tim/kelompok.

3. Komunikasi efektif dan aktif mendengarkan

Kemampuan membangun komunikasi efektif dan aktif mendengarkan ini bisa ditumbuhkan dengan memulainya dari orang tua sebagai teladan bagi anak. Moms bisa membiasakan untuk berbicara dan menyampaikan pesan dengan jelas agar anak mengerti dengan menggunakan bahasa atau kata-kata yang positif, mendengarkan dengan aktif dan penuh perhatian saat anak mengungkapkan pikiran dan perasaannya, serta memberikan tanggapan dengan cara yang baik dan bijak.

4. Memecahkan satu masalah

Kemampuan memecahkan masalah ini bisa dilatih melalui permainan. Ajak anak untuk bermain permainan sederhana, seperti permainan scrabble atau menyusun kata, ular tangga, monopoli, dan jenis permainan sederhana lainnya yang memerlukan pemikiran strategi.

Moms juga bisa mengajak anak untuk membicarakan persoalan yang dihadapi anak, dan memberikan kesempatan bagi anak untuk belajar menyelesaikan persoalannya sendiri, misalnya saat anak mengalami masalah dengan teman bermain, memperbaiki mainan rusak, atau mencari mainannya yang hilang. Jika persoalan yang dihadapi anak hanya sebatas persoalan ringan, orang tua bisa memberikan kesempatan pada anak untuk mengatasinya sendiri.

Apa Peran Orang Tua terhadap Anak di Era Digital?

Di era digital ini, teknologi juga bisa dimanfaatkan untuk mengembangkan jiwa kewirausahaan pada anak. Namun, orang tua harus lebih memberikan bimbingan pada anak soal penggunaan perangkat seperti gadget

Sebenarnya ada banyak hal positif yang didapatkan anak-anak Ketika mereka sudah mengenal teknologi dan alat komunikasi modern. Keuntungan teknologi digital untuk anak antara lain kreativitas, kemampuan bersosialisasi dan membangun hubungan pertemanan, mendapatkan inspirasi, keterampilan komunikasi efektif dan aktif mendengarkan, serta memecahkan satu masalah dengan gigih.


Menurut Intan Erlita, Psi. PBHC. CBHC. CHMP., psikolog yang juga hadir sebagai pembicara di acara webinar bersama Yayasan Tadika Puri, ada beberapa bahaya yang mengintai anak-anak saat mereka menggunakan peralatan komunikasi seperti gadget jika dilakukan tanpa bimbingan dan pengawasan orang tua, di antaranya:

1. Obesitas
Menurunnya aktivitas fisik akibat penggunaan gadget yang berlebihan bisa mengakibatkan obesitas atau kegemukan pada anak.

2. Serba instan
Budaya serba instan juga menjadi ciri generasi gadget. Sebagian besar orang menginginkan segala sesuatu serba cepat dan praktis melalui kemudahan yang ditawarkan secara online.

3. Cyber bullying
Cyber bullying atau perundungan dunia maya merupakan perilaku berulang yang ditujukan untuk menakuti, membuat marah, atau mempermalukan mereka yang menjadi sasaran, seperti menyebarkan kebohongan tentang seseorang, mengirim pesan atau ancaman, menggunakan akun palsu atau akun orang lain untuk menyebarkan kebencian serta menghasut, dan sebagainya.

4. Kepercayaan diri yang rendah
Kurangnya ruang untuk bersosialisasi secara tatap muka akibat terlalu sering bermain gadget terutama bermedia sosial mengakibatkan anak-anak tumbuh dengan kepercayaan diri yang rendah ketika harus berhubungan dengan orang lain secara langsung. Mereka tidak terbiasa untuk berbicara dan berhadapan dengan orang lain secara langsung.



Tahapan Pendampingan Anak di Era Digital

Intan Erlita juga menyampaikan tentang perlunya mendampingi anak di era digital dengan memperhatikan tahapan-tahapan sebagai berikut:

1. Di bawah 3 tahun
Pada usia ini, anak-anak bisa mulai dikenalkan dengan audio dan gambar-gambar bergerak. Perlu diingat bahwa gadget bukan pengganti orang tua, sehingga anak-anak harus tetap mendapatkan pendampingan saat bermain perangkat tersebut, serta waktu yang berkualitas untuk bermain bersama orang tua.

2. 4 – 10 tahun
Di tahapan ini, anak mulai dikenalkan dengan aplikasi yang berhubungan dengan sekolah.

3. 11 tahun ke atas
Di usia ini, anak-anak harus sudah dibimbing untuk menjadi digital citizen atau warga digital yang baik.


Selain tahapan pendampingan di atas, ada juga hal-hal yang perlu diperhatikan untuk menjadi warga digital yang baik berdasarkan pendapat Intan Erlita, antara lain:
  1. Bertutur kata dan berbahasa yang baik.
  2. Ingat bahwa digital footprint/jejak digital tidak akan pernah hilang, sehingga santun dan bijak saat bermedia sosial sangat penting.
  3. Keamanan dalam berinternet.
  4. Waspada dengan cyber bullying.


Kesimpulan

Mendidik anak-anak di era digital tentu berbeda dengan di masa kita kecil dulu ya, Moms. Banyak pengetahuan baru yang masih perlu dipelajari orang tua, baik mengenai hal-hal yang berhubungan dengan digitalisasi, maupun solusi untuk menyikapi perkembangan zaman bagi anak-anak kita. 

Selain melakukan pendampingan terhadap kegiatan yang dilakukan anak, orang tua juga perlu menjadi teladan bagi anak. Jika kita, sebagai orang tua, bersikap bijak dalam berteknologi, maka anak-anak pun diharapkan akan melakukan tindakan yang sama. 

Banyak dampak baik yang bisa didapatkan anak dari kemajuan teknologi, antara lain dalam hal pengembangan jiwa entrepreneurship dan intrapreneurship. Jadi, yuk, Moms, berikan waktu dan perhatian yang berkualitas pada anak serta bekali mereka dengan sikap positif dalam menanggapi perkembangan digital.



Referensi

1. Materi webinar parenting bersama Yayasan Tadika Puri pada tanggal 29 Januari 2022 melalui aplikasi Zoom.
By: Alison Doyle updated on June 26, 2020






Posting Komentar

10 Komentar

  1. Iya juga ya. Selama ini aku hanya tahu tentang enterprenership doang. Yang intra nggak tahu. Mungkin paham tapi nggak tahu kalau namanya intraprenership. Hehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, Mbak. Istilahnya aja yang baru tahu soal intrapreneurship ya, kalo realita profesinya mungkin udah sering ketemu. Hehe

      Hapus
  2. Terimakasih sharingnya mbak. Saya jadi lebih semangat lagi mendamoingi anak2 melewati hari2nya di era digital saat ini. Peran orangtua sangat penting sekali ya dalam pembentukan karakter anak, dan ternyata pengembangan jiwa enterpreneurship dan intrapreneurship juga sangat penting untuk di asah di era digital ini.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sama-sama, Mbak Ulfah. Senanh bisa berbagi informasi. Semoga bermanfaat ya. 🙏

      Hapus
  3. Teknologi saat ini banyak membuka peluang usaha dan memudahkan anak untuk belajar enterpreneur. Sisi positif dari teknologi yang harus diajarkan kepada anak.

    BalasHapus
  4. Jadi milih mana, entrepreneurship atau intrapreneurship nih? Buat yang tidak ingin terikat dan tetap freelance, sepertinya lebih cocok entrepreneurship ya?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, bener banget, Mbak Hani. Para freelancer sepertinya lebih cocok dengan skill entrepreneurship.

      Hapus
  5. Mendidik anak-anak di era digital memang berbeda dengan di masa kita kecil dulu, ya. Bagaimana pun juga dalam mendidik anak, orang tua harus menyesuaikan dengan zamannya. Positifnya,teknologi juga mendukung untuk mengajarkan anak belajar enterpreneur ya...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, Mbak Nurul. Sebenernya kita juga diuntungkan dengan adanya teknologi.

      Hapus

Terima kasih sudah berkunjung